top of page

Potluck Para Diktier

  • Ka Bati*
  • May 10, 2016
  • 5 min read

Para mahasiswa Indonesia di Leiden sedang berkumpul

Perasaan senasib, katakanlah itu yang menjadi kata kunci, kenapa kemudian banyak orang memutuskan untuk berkumpul, bertemu dan menuntaskan rindu masing-masing. Ini seperti kamuflase pada orang-orang migran serta kaum pengangguran saat meneguk bir murahan di pinggir sungai Rijnsburger di tengah kota Leiden. Mereka tertawa sambil meneguk minuman dari mulut botol yang sama dan mengisap ganja dari lintingan yang sama. Lalu mereka larut dalam mabuk sebelum kemudian bubar menghindar dari gertakan polisi, lalu rindu mempertemukan mereka kembali. Begitulah berulang selalu sehingga pojok jalan Kiekpad di pinggir sungai itu tak pernah sepi.


Rindu kemudian menjadi tidak jelas arahnya, apakah rindu pada kampung halaman, rindu pada kehidupan yang lebih baik atau sesungguhnya mereka rindu pada ketidak-teraturan, pada nasib buruk dan pada botol bir murah yang mengeluarkan busa seperti kencing kuda. Atau mungkin juga rindu pada patung perempuan setengah telanjang yang mempertontonkan buah dada itu, dimana, di bawah patung itu mereka bisa mabuk bersama dengan riang.


Umumnya kaum migran dan para diaspora yang terpisah dari kampung halamannya mengalami nasib yang sama berhubungan dengan perasaan rindu akan kampung halaman. Yang bisa dilakukan adalah berkamuflase. Demikian juga dengan para pelajar Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Leiden ini. Rindu yang tidak sanggup mereka tuntaskan dengan pulang ke kampung, mereka bayar sementara dengan berkumpul-kumpul dan tertawa bersama. Membangun suasana kebersamaan yang kemudian tanpa mereka sadari menjadi sebuah kebutuhan dan menuntut untuk selalu diulang. Bahkan sampai mereka pulang kembali ke tanah air dimana rindu sejatinya telah mereka tuntaskan, kerinduan baru akan muncul, kerinduan akan suasana berkumpul saat mereka terasing di negeri jauh.


Bagi saya, mengamati pola interaksi kaum ‘senasib’ ini menarik. Perilaku berulang yang dilakukan oleh para perantau untuk menuntaskan rindu mereka pada suasana dan budaya di kampung halaman ternyata memunculkan model interaksi sosial yang unik. Dan pada beberapa kasus malah bisa dijadikan model bagi pengembangan komunitas dan jaringan kerja budaya. Hal yang selama ini sering menjadi persoalan bagi kalangan seniman dan budayawan atau bahkan dikalangan masyarakat kita secara umum. Susahnya untuk se-iya, se-irama.


Pelajar Indonesia di Leiden


Semenjak diberlakukannya kebijakan pemerintah soal 30 persen alokasi anggaran pembangunan (APBN) untuk sektor pendidikan dan meningkatnya dana hibah pendidikan bagi para pemuda Indonesia, maka jumlah pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeripun meningkat pesat. Kalau sebelumnya kebanyakan mahasiswa Indonesia belajar di luar negeri atas bantuan dana dari funding asing seperti Neso, Stuned, Ford Foundation dan lain-lain maka belakangan ini yang terjadi malah sebaliknya, Negara menanggung sepenuhnya biaya pendidikan pelajar Indonesia di luar negeri, tentu saja yang lulus seleksi dan memenuhi standar.


Kalau sebelumnya standar penerima beasiswa ditentukan oleh pihak pemberi beasiswa maka saat ini sepenuhnya ditentukan oleh negara. Dan biasanya ketentuan negara untuk hal penerima beasiswa itu tidak sulit. Ada pemberi referensi, cukup kemampuan bahasa dan jelas universitas yang akan dituju. Kalau semua persyaratan terpenuhi maka belajar di luar negeri menjadi mudah karena beasiswa yang disediakan pemerintah mencakup seluruh biaya hidup termasuk tunjangan untuk yang membawa serta keluarga.


Segala kemudahan dan kesempatan yang diperoleh oleh para pelajar Indonesia di luar negeri ini tidak selesai hanya sampai di situ. Persoalan-persoalan lain yang sifatnya sangat mendasar seperti perasaan asing dan keterpisahan dari lingkungan sosial dan budaya adalah hal yang tidak bisa diselesaikan oleh negara, termasuk oleh pihak kedutaan di masing-masing negara tempat mereka belajar, kecuali oleh individu yang bersangkutan. Tentu saja sebenarnya Kedutaan, sebagai tangan kedua negara, bisa menjalankan perannya sebagai tempat bernaung dan merasa kembali pulang, bagi pelajar di negara asing. Namun kenyataannya tidak sederhana seperti itu. Hubungan dengan kedutaan seringkali menjadi hubungan yang formal. Sementara berkumpul untuk menuntaskan kerinduan sering bertentangan dengan logika ‘resmi’ dan ‘formalitas’ yang dibangun pemerintah. Karena itu diperlukan adanya kelompok atau komunitas-komunitas yang sifatnya ‘cair’ dan informal. Dimana setiap orang sama kedudukannya. Setiap orang bisa bergabung tanpa dibelenggu oleh peran dan status sosial yang mengikat mereka.


Sering kali, perkumpulan yang dibangun berdasarkan peran dan status sosial menimbulkan relasi yang tidak setara. Dalam kasus ini kemudian timbul persoalan dimana membangun perpecahan sepertinya sama sulit dan sekaligus sama mudahnya dengan merekat persatuan. Hanya saja, kedangkala kita kehilangan model, sehingga ketika keinginan untuk merekat persatuan muncul yang terjadi justru perpecahan, pelecehan, persaingan yang memunculkan nilai-nilai negatif bagi keberlanjutan hubungan sosial.


Saya melihat satu model interaksi sosial yang menarik di kalangan mahasiswa penerima beasiswa Dikti di leiden atau yang menyebut dirinya Diktier. Model interaksi sosial yang mereka bangun sepertinya bisa menjadi model bagi terciptanya hubungan harmonis di tengah masyarakat. Hubungan yang dibangun tanpa dipengaruhi oleh status dan peran individu yang terlibat di dalamnya. Hubungan setara yang hanya semata-mata didasari oleh persamaan. Tentu saja mustahil meniadakan perbedaan status dan peran yang sejatinya melekat pada setiap individu, tetapi poinnya di sini sepertinya bukan meniadakan tetapi tidak memunculkan perbedaan tersebut. Dan ini sesuatu yang ternyata sangat mungkin dan bisa diwujudkan.


Pada kenyataannya yang bergabung dalam kelompok Diktier ini tidak terbatas pada para penerima beasiswa dari Dikti saja tetapi juga dari pihak lain bahkan termasuk warga Indonesia yang menetap di Leiden, menikah dengan penduduk setempat atau pekerja migrant di daerah ini, namun keakraban yang terjalin di antara mereka cukup kental.


“Saya tidak merasakan suasana keakraban yang tanpa beban seperti di pertemuan Diktier ini pada pertemuan di kelompok lain,” aku AN, seorang mahasiswa Program Sandwich yang tinggal di Leiden para akhir tahun 2014 lalu. AN pernah mengikuti pertemuan dan kumpul-kumpul warga Indonesia, perkumpulan pelajar PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) dan perkumpulan kaum eksil. Hal yang sama juga diakui beberapa orang yang hadir di pertemuan-pertemuan Diktier. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan, apa yang membuatnya berbeda?


Untuk menjawab pertanyaan di atas, sesuai teori interaksi sosial, maka pandangan sebaiknya diarahkan pada faktor apa yang melatarbelakang atau mendorong para Diktier untuk berkumpul. Selanjutnya harus diamati bagaimana proses interaksi berlangsung diantara sesama anggota perkumpulan sehingga terlihat model yang mereka bangun atau mungkin yang secara tidak sadar terbangun dari pola interaksi ini dan pada akhirnya memunculkan nilai-nilai tertentu.


Potluck


Pertemuan di antara warga Diktier Leiden tidak diagendakan secara rutin. Biasanya ide tiba-tiba muncul dari seseorang, entah itu berkaitan dengan perubahan musim, perayaan hari besar, ada yang berulang tahun atau ada persoalan bersama (seperti proses pencairan beasiswa dan sebagainya) yang harus mereka bahas. Bisa juga alasan mereka berkumpul hanya karena seseorang diantara mereka rindu makan bakso, soto ayam atau onde-onde dan rendang.


Beberapa hari sebelum pertemuan dilangsungkan, ditentukan tempat acara dan ditentukan makanan atau menu-menu yang akan di bawa oleh masing-masing peserta. Pembicaraan berlangsung secara online. Setiap orang mengajukan usulan dan mengajukan kesediaan untuk membagi sesuatu untuk bersama. Pernah juga pertemuan Diktier ini memakai pola patungan. Jadi seseorang belanja sesuatu yang akan dijadikan menu utama dalam pertemuan kemudian biayanya ditanggung bersama-sama. Tapi model ini sepertinya tidak sukses, hanya sekali pertemuan di bulan September 2014 bertempat di taman belakang Student Housing Boerhaavelaan yang dikordinir oleh Mbak Cici. Selanjutnya model yang dikembangkan adalah dengan membawa rantang masing-masing atau yang disebut potluck.



Di saat senggang mahasiswa berkumpul sambil menikmati masakan sendiri



Makan bersama, saling bercanda, memainkan game, bernyanyi dan membicarakan tesis atau disertasi yang belum juga jelas kapan akan selesainya dengan riang. Suasana riang inilah yang mereka butuhkan. Kadang kala ide-ide yang lebih serius muncul, seperti mengadakan pertemuan atau diskusi membahas hasil riset masing-masing atau simulasi presentasi makalah bagi yang akan ikut seminar. Jadi pertemuan mereka diselang selingi antara hal yang serius dan hal riang penuh canda.


Pola asosiatif yang terbentuk dikalangan penerima beasiswa Dikti ini mengarah pada terwujudnya nilai-nilai positif seperti solidaritas, kerukunan dan keadilan bersama. Nilai-nilai ini lahir dari kerjasama, proses asimilasi yang menyatukan berbagai perbedaan (mereka berasal dari latar belakang ilmu dan juga latar belakang etnis yang berbeda) dan akomodasi.


Selain kelompok Diktier, di kalangan masyarakat Indonesia di leiden, tentu saja perjumpaan (gathering) sering juga digelar. Misalnya antar pelajar yang tergabung dalam PPI, antar masyarakat Indonesia atau pekerja Indonesia, para eksil atau orang Indonesia yang menikah dengan warga Belanda. Tetapi ada bermacam-macam motif yang menyebabkan mereka berkumpul. Yang sering itu adalah motif ‘balas berbalas’ atau arisan. Walaupun sebenarnya tidak diucapkan secara langsung, namun biasanya ada kebiasaan menggilir acara jamuan. Dan alasan untuk hadir kadangkala bukan karena panggilan senasib tetapi lebih pada alasan ‘tidak enak hati’ atau ‘segan’. Motif yang berbeda tentu saja melahirkan nilai yang juga berbeda. Motif-motif seperti ini sering pula menimbulkan disasosiatif dan memunculkan nilai-nilai seperti persaingan, pelecehan, egoisme, iri dan lain-lain.


*Penulis novel "Padusi", tinggal di Leiden


 
 
 

Comments


Sekilas Isi Artikel 
Artikel Tersedia
Link Bermanfaat
Kirim Artikel?

Silakan kirim ke:
redaksi@toelip.net

©2015 by toelip.net

bottom of page