Pembunuhan Massal Orang Tionghoa di Pulau Jawa 1947-1949
- F.X. Harsono*
- Sep 30, 2015
- 4 min read
Pada tahun 1946 Belanda kembali ke Indonesia setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Aksi Agresi Militer Belanda yang massif kemudian bergerak ke daratan sampai pedalaman-pedalaman Jawa dan beberapa kota di Sumatera, Kalimantan dan beberapa pulau lainnya. Sebagai maneuver Belanda untuk kembali menguasai Indonesia, mereka memaksa orang Tionghoa bekerjasama baik sebagai polisi militer atau tentara cadangan (stand-by), dan yang sering terjadi adalah mereka ditempatkan sebagai mata-mata Belanda di beberapa daerah.
Tentara Indonesia berpencar dan melakukan perang gerilya di hutan-hutan dan desa-desa. Sebelum mereka berangkat dari berbagai kota mereka melakukan strategi yang dikenal sebagai operasi bumi hangus dengan membakar gedung dan fasilitas di kota-kota dan pabrik-pabrik. Di tengah kekacauan ini, tentara sipil mengambil paksa harta, merampok dan memerkosa orang-orang Tionghoa yang dianggap memihak Belanda dengan menjadi mata-mata mereka.
Sentimen anti-Tionghoa terbentuk karena orang-orang Tionghoa direkrut menjadi tentara cadangan Belanda. Orang-orang Tionghoa dipaksa menyediakan bantuan untuk Belanda semenjak anggota keluarga mereka dibunuh, diperkosa atau dirampok selama pergolakan politik ini. Akan tetapi, Konsulat Jendral Republik Rakyat Tionghoa di Batavia, Tsiang Tsai Tung, menentang kebijakan ini. Dalam sebuah surat yang dialamatkan kepada Gubernur H. J. van Mook dan Letnan Jendral S. H. Spoor, dia menyatakan bahwa kehadiran tentara cadangan Tionghoa bisa menciptakan salah paham. Keselamatan komunitas Tionghoa di daerah lain di Indonesia pun bahkan bisa terancam.
Album Foto
Saya menemukan sebuah album foto hitam yang didalamnya terdapat gambar-gambar tentang penggalian (makam) orang-orang Tionghoa yang telah dibunuh pada tahun 1948-1949 di desa-desa di sekitar Blitar. Foto-foto itu dibuat oleh ayah saya, Oh Hok Tjoe.
Pada tahun 1951, Chung Hua Tsung Hui, sebuah organisasi komunitas orang Tionghoa membentuk sebuah tim untuk mencari dan menggali mayat-mayat orang Tionghoa yang telah dibunuh pada tahun 1946-1948 di sekitar Blitar. Ayah saya sebagai fotografer terlibat dalam tim itu untuk mendokumentasikan penggalian tersebut.
Gambar-gambar itu merupakan awal mula saya mencoba menelusuri sejarah pembunuhan orang-orang Tionghoa dengan melakukan survei di desa-desa tempat korban-korban ditemukan. Dalam foto itu ada keterangan yang ditulis ayah saya yang menunjukkan tanggal dan tempat dimana mayat-mayat itu ditemukan.
“MEMORANDUM, Outlining Acts of Violence and Humanity Perpetrated by Indonesia Bands on Innocent Chinese Before and After The Dutch Police Action Was Enforced on July 21, 1947”. Dokumen ini berisi informasi bahwa Chung Hua Tsung Hui di Batavia menerima laporan dari cabang-cabang Chung Hua Tsung Hui mengenai nomor orang-orang Tionghoa yang dibunuh, begitu pula pabrik-pabrik dan rumah-rumah yang dibakar selama tahun 1947 dan 1949.
Dokumen menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan massal ini memang terjadi di hampir setiap kota besar. Mulai dari Banyuwangi hingga Tangerang. Selain pembunuhan juga pemerkosaan dan pembakaran rumah-rumah dan pabrik milik orang Tionghoa. Pembakaran dilakukan dengan dalih politik bumi hangus.
Data-data tentang pembunuhan dan pembakaran rumah dan pabrik yang ada dalam “MEMORANDUM, Outlining Acts of Violence..” ini diperkuat oleh data dan arsip yang ada di National Archives Den Haag. Semua ini memperjelas bahwa dengan politik bumi hangus maka pembakaran rumah-rumah dan pabrik menjadi sah. Sementara sebelum peristiwa pembakaran, setelah penghuninya di ungsikan, maka isi rumah kemudian dijarah dan rumah dibakar. Modus ini nampaknya terjadi dimana-mana.
Siapa Pelakunya
Beberapa narasumber yang masih hidup dan mengalami peristiwa tersebut baik sebagai saksi atau sebagai orang yang selamat dari pembunuhan, mereka menyebutkan beberapa kelompok milisi. Mereka ada yang menyebutkan sebagai, tentara gadungan, lasykar, Lasykar Hibulah, juga preman atau kriminal. Sedangkan data yang saya dapat dari NEFIS dan beberapa arsip dari KNIL, mereka menyebutnya, rampoken atau rampok, P.I. tanpa ada penjelasan yang pasti.
Dari informasi dan data yang didapat hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 1945 – 1949 nampaknya banyak kesatuan-kesatuan yang tidak dibawah kesatuan militer yang resmi seperti Badan Keamanan Rakyat, Tentara Pelajar dan TRIP. Sedangkan Robert Cribb dalam bukunya Para Jago dan Kaum Revolusioner di Batavia 1945 – 1949 jelas sekali mengatakan bahwa diluar tentara resmi dari pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka juga ada banyak lasykar yang berperang melawan pasukan Belanda, dimana strategi mereka sering berseberangan dengan pasukan resmi pemerintah RI. Sebenarnya tidak begitu mudah untuk menunjuk para pelaku berada dibawah sebuah organisasi bersenjata, karena begitu membaurnya antara kelompok krimal yang terorganisir dan para lasykar atau bahkan tentara. Sementara ini saya masih mengumpulkan data, arsip dan referensi untuk melihat permasalahan ini dengan lebih akurat.
Namun demikian siapapun pelakunya dan bagaimana situasi saat itu dimana pemerintahan RI yang baru terbentuk dan masih harus mempertahankan kedaulatan negara RI yang hendak di jajah kembali oleh pemerintahan Belanda, tidak berarti bahwa pelanggaran hak asasi manusia bisa dibenarkan. Trauma yang dirasakan oleh mereka yang lolos dari pembunuhan dan melihat teman-teman dan saudaranya terbunuh. Cerita dari mereka yang ikut dalam pencarian mayat korban yang dikubur di sembarang tempat dan menggalinya kemudian dikuburkan secara layak dalam satu kuburan massal. Keadaan para korban dan penderitaan mereka karena kehilangan keluarga, kehilangan tempat tinggal dan kehilangan harta benda lebih menjadi perhatian saya dalam melakukan riset ini.
Di balik kejadian bersejarah, khususnya yang mengandung kekerasan dimana ratusan dab bahkan ribuan orang-orang Tionghoa dibunuh, orang-orang biasa menjadi korban dan trauma mendalam dialami oleh orang-orang Tionghoa dan keluarga mereka. Saya harus memahami kejadian itu dari perspektif para korban. Sebuah revolusi untuk kemerdekaan sering dipersepsikan hitam dan putih. Alur sejarah memposisikan orang-orang Tionghoa sebagai korban beragam perubahan sosial dan politik di Indonesia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam sebuah revolusi dilihat normal daripada sebegai sebuah masalah besar dibandingkan dengan keinginan untuk merdeka.
*Penulis adalah Seniman dan Visiting Fellow di KITLV, Belanda
Comments