top of page

Melampaui Perang Dingin: Akar Sejarah Konferensi Asia Afrika

  • Wildan Sena Utama*
  • Jul 2, 2015
  • 4 min read

photo.jpg

Indonesia baru saja memperingati secara besar-besaran 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) di tempat berlangsungnya peristiwa historis ini di Bandung. Bagi Indonesia, peringatan KAA begitu penting untuk dilaksanakan. Sebab berlangsungnya KAA menjadi sebuah momen historis yang memberikan memori bahwa Indonesia pernah berhasil menyelenggarakan sebuah konferensi bersejarah pertama di dunia yang mengumpulkan para tokoh Asia dan Afrika dalam satu meja untuk membicarakan persoalan dunia melampaui dua visi blok besar yang bertikai saat itu. Di samping itu, peringatan KAA penting dilakukan untuk memeriksa kembali peran aktif Indonesia sebagai salah satu kekuatan utama Dunia Ketiga pada periode awal Perang Dingin. Meskipun KAA adalah momen bersejarah bagi Indonesia dan dunia ada dua fakta mengkhwatirkan tentang peristiwa ini. Pertama, saya menemukan sebuah fakta bahwa belum ada sejarawan Indonesia yang menulis peristiwa besar ini dalam sebuah kajian ilmiah yang komprehensif. Hal ini menjadi sebuah ironi, bagaimana mungkin sebuah peristiwa besar yang diperingati setiap dasawarsa dengan megah tidak dipahami secara substansial oleh salah satu aktor utamanya sendiri. Oleh sebab itu, hal ini mendorong terciptanya sekedar memori dangkal bahwa dahulu Indonesia pernah menjadi kekuatan besar dunia yang berhasil menyelenggarakan KAA yang monumental.

KAA menjadi besar hanya karena volume partisipannya, tokoh-tokoh yang diundang, keberhasilan Indonesia menyelenggarakan, serta persona Soekarno yang luar biasa. Padahal KAA lebih dari itu. Kurangnya kajian komprehensif dari sejarawan Indonesia mengenai KAA menyebabkan kurang dalamnya pemahaman sebagian orang mengenai latar belakang munculnya KAA.

KAA muncul sebagai sebuah respons dari kekuatan Dunia Ketiga bukan sekedar untuk menjadi penyeimbang kekuatan melawan dua blok yang bertikai pada Perang Dingin. Latar belakang munculnya KAA begitu terkait dengan sejarah panjang mereka sebagai negara kolonial yang begitu concern memperjuangkan penentuan nasib sendiri, hak asasi manusia dan perdamaian dunia. KAA adalah jaringan yang terbentuk berdasarkan solidaritas negara-negara kolonial di Asia-Afrika terhadap isu-isu tersebut. Proses terbentuknya jaringan ini dibangun bertahap oleh para tokoh Asia-Afrika di bawah jaringan yang terbentuk dari gerakan anti-kolonial dan imperialisme pada awal abad ke-20.

Kesadaran tentang bangsa dan gerakan nasionalisme di awal abad ke-20 merupakan pemantik bagi munculnya gerakan global perlawanan terhadap dominasi Kerajaan Eropa. Di awal abad ke-20 dunia melihat sebuah perlawanan global anti-koloniasme yang menuntut penentuan nasib sendiri di tanah air. Meskipun global, perlawanan ini pada awalnya tidak bersatu dalam sebuah jaringan. Meletusnya Perang Dunia I lah yang menghadirkan tantangan dan kesempatan untuk kepada gerakan modern anti-kolonialisme bahwa diperlukan sebuah visi alternatif dunia mengantikan tatanan dunia saat itu.

498140711_Sukarno-KAA-1955.jpg

Visi alternatif diperlukan untuk menggantikan visi politik dan ekonomi yang dibangun imperialisme. Naiknya Revolusi Rusia di tahun 1917 membawa perubahan besar dalam semangat pergerakan kolonial untuk menghancurkan rantai imperialisme di dunia orang tertindas. Pernyataan Lenin bahwa “kolonialisme adalah yang terburuk dan bentuk paling ekstrim dari imperialisme” memberikan impresi terhadap gerakan anti-imperialisme di dunia. Pengaruh komunisme begitu besar terhadap gerakan imperialisme di Asia-Afrika sebab mereka menginginkan terbentuknya aliansi antara Rusia dan gerakan anti-imperialisme kolonial untuk bersama-sama melancarkan sebuah gerakan kelas pekerja proletariat global. Inilah yang dibicarakan ketika Comintern menyelenggarakan dua konferensi penting di tahun 1920 yaitu, Konferensi Komintern Kedua di Moscow dan Kongres Orang Timur di Baku.

Pada awalnya, gerakan anti-kolonial yang bernafaskan nasionalisme tidak mau bekerjasama dengan komunisme. Namun, seperti yang dikatakan Jawaharlal Nehru “kecenderungan gerakan nasionalis Asia untuk mengikuti bekerjasama dengan komunisme tergantung pada sejauh mana impuls anti kolonial berakar mereka diabaikan oleh Barat”. Mereka pada awalnya menaruh harapan besar kepada apa yang disebut Erez Manela, sebagai ‘momen Wilsonian’, yaitu ide-ide dari Woodrow Wilson tentang self-determination dan equality among the nations. Meletakkan harapan tinggi pada retorika Wilson, gerakan anti-kolonialisme begitu kecewa ketika ide penentuan nasib sendiri dunia kolonial tidak dibicarakan di Konferensi Perdamaian di Paris 1919. Momen Wilsonian akhirnya kolaps ketika Liga Bangsa-Bangsa yang baru didirikan dianggap tidak lebih dari status quo untuk melegitimasi dominasi Barat atas dunia kolonial.

Inilah yang menjadi akar mengapa para tokoh pergerakan Asia-Afrika mencari sebuah institusi tandingan yang setara. Pada masa interwar, Comintern yang begitu bersemangat untuk mempertemukan para pemimpin dari dunia kolonial dengan gerakan buruh dan sosialis internasional. Di samping itu, kontak-kontak dan relasi-relasi telah mulai terbentuk antara para pemimpin Asia-Afrika, terutama yang berada di daerah metropole. Jaringan ini mulai terbentuk diperkuat oleh pertemuan-pertemuan kecil ataupun konferensi yang diadakan di Eropa. Jaringan-jaringan inilah yang kemudian dipertemukan oleh sebuah pertemuan monumental Konferensi Liga Anti Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussels tahun 1927. Pada pertemuan inilah untuk pertama kalinya para pemimpin masa depan Asia-Afrika berkenalan dan berdiskusi tentang isu-isu terkait imperialisme di negara asalnya. Para peraih nobel Romain Rolland dan Albert Einstein bersama dengan Soong Ching-Ling, janda dari pendiri Kuomintang Sun Yat-Sen dan George Lansbury, seorang teosofis dan tokoh Partai Buruh Inggris menjadi patron dari konferensi ini. Total sekitar 174 delegasi mewakili 134 organisasi, partai politik atau asosisasi di 34 negara.

Dasa Sila Bandung 1955----01.jpg

Pada pertemuan inilah Hatta dan Nehru pertama kalinya mengadakan kontak. Hatta mengatakan “tidak pernah sebelumnya dunia melihat konferensi seperti ini diselenggarakan”. Nehru sendiri begitu terpengaruh dengan konferensi ini, dia mengatakan bahwa “Brussels membantu dirinya untuk memahami problem-problem kolonial dan negara dependensi”. Kemudian dia mengakui bahwa Brussels memberikan inspirasi bahwa kontak “terhadap bermacam-macam gerakan anti-kolonial akan mendorong terciptanya pemahaman yang lebih baik terhadap problem dan kesulitan masing-masing serta akan mempererat hubungan yang akan membawa kesukseskan bagi semua”. Disinilah pertama kalinya dia mempunyai ide untuk membentuk sebuah “Federasi Asiatik”. Keinginan Nehru untuk membentuk aliansi antar Asia dan jaringan anti-imperialis yang sudah terbentuk pada masa awal abad ke-20 inilah yang memudahkan para negara Asia berkumpul kembali pada Asian Relations Conference di New Delhi tahun 1947. Konferensi ini disebutkan oleh beberapa sejarawan menjadi pondasi yang memperkuat kembali hubungan antar negara-negara Asia yang sebelumnya akar-akar jaringannya sudah terbentuk pada masa interwar. Telah mengakarnya jaringan anti-imperialis/kolonialisme sejak masih bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan inilah yang memudahkan negara-negara pos-kolonial di Asia-Afrika ini untuk bertemu kembali di KAA dan mendiskusikan isu-isu yang sebenarnya sudah sejak lama mereka perjuangkan.

* Penulis adalah Mahasiswa Program Master dalam bidang Sejarah Universitas Leiden

sumber gambar:

1. http://www.aacc2015.id/images/Logo%20KAA.png

2. http://historia.id/img/foto_berita/498140711_Sukarno-KAA-1955.jpg

3. http://2.bp.blogspot.com/_gPgHrUOONII/TBhwkBO7xWI/AAAAAAAAALQ/3keV-6FZy94/s1600/Dasa+Sila+Bandung+1955----01.jpg


 
 
 

Comments


Sekilas Isi Artikel 
Artikel Tersedia
Link Bermanfaat
Kirim Artikel?

Silakan kirim ke:
redaksi@toelip.net

©2015 by toelip.net

bottom of page