top of page

Perlawanan Sastra

  • Saras Dewi*
  • Sep 30, 2015
  • 7 min read

Semenjak membaca Hikayat Kadiroen karya Semaun, saya diyakinkan, alangkah kaya dan terhormatnya sastra Indonesia. Terlebih lagi, betapa berharga karya sastra tersebut dalam pergolakan sosial dan politik di Indonesia. Pergolakan itu lama bermula sejak kolonialisasi Belanda, selain Hikayat Kadiroen, sebut saja karya Mas Marco Kartodikromo, berjudul Student Hidjo. Keduanya dikenal kritis menyoal ketidakadilan. Dua karya itu akhirnya mengilhami saya mencari tahu, bagaimana kondisi Sastra Indonesia di era kontemporer? Masihkah ada karya yang tidak saja menyuguhkan narasi sastrawi indah, tetapi juga bertujuan menggerakkan masyarakat?

Berbekal pertanyaan penelitian tersebut, saya berangkat ke Belanda. Saya bersukacita memenuhi undangan KITLV mengejar jawaban dari pertanyaan tersebut. Selama melakukan riset, selain dibimbing Dr. Marieke Bloembergen, saya kerap berdiskusi dengan dua kritikus sastra, yakni Bapak Tommy Awuy dan Bapak Damhuri Muhammad. Dalam diskusi jarak jauh itu, kami menggunakan definisi Sastra Terlibat atau Sastra Bergerak, untuk mendistingsi jenis karya sastra yang tengah dipercakapkan. Ciri utama Sastra Bergerak adalah bagaimana karya prosa dan puisi berdampak untuk transformasi sosial. Sebaliknya pula, bagaimana karya prosa dan puisi tersebut merupakan reaksi dan refleksi kritis terhadap kondisi sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia.

Di tengah berbagai macam persoalan yang dapat diangkat tentang Indonesia, ditemukan beberapa tema sastra dinilai memiliki urgensi dibahas. Ada tiga spektrum pembahasan yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini. Pertama, saya meneliti sorotan sastra terhadap persoalan tubuh dan ekspresi gender. Dalam tema itu, saya membahas lebih elaboratif dua masalah, diantaranya, narasi sastra memperbincangkan kekerasan seksual dan pemerkosaan, kedua, kaitan sastra dengan ekspresi seksualitas LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex, Queer).

Tema besar kedua yang diteliti, kemunculan karya puisi dan prosa yang mengetengahkan krisis lingkungan hidup serta persinggungannya dengan masyarakat adat di Indonesia. Membahas tema itu, terlihat bagaimana sastrawan dan penyair menulis tentang alam di Indonesia. Tema besar alam dan sastra ini dipecah menjadi tiga subbagian, yaitu fenomena kemunculan Sastra Angkatan Tsunami di Aceh. Melalui puisi dan prosa, para sastrawan Aceh menggambarkan derita serta trauma terhadap gelombang dahysat tersebut, tetapi di sisi lain, ada pula penebusan dan rasa berdamai dengan duka. Subbagian kedua, saya meneliti bagaimana para sastrawan melalui narasinya berupaya menghidupkan kembali nilai lokalitas yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Nilai adat yang menyatukan alam dan manusia, dan bagaimana keharmonisan itu diguncang pesatnya pembangunan. Subbagian ketiga, saya membahas lebih spesifik bagaimana para sastrawan Bali menyuarakan hilangnya alam hidup mereka menggunakan puisi dan prosa. Keresahan yang ditampilkan, bagaimana pembangunan pariwisata yang tidak berkelanjutan justru mematikan tradisi lokal masyarakat Bali. Pasalnya, alam adalah bagian utama dari pemujaan dan ritual yang dijalankan masyarakat setempat.

Tema besar terakhir yang diteliti, bagaimana sastra dipergunakan menyorot persoalan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Persoalan yang hendak dihadirkan terkait pemahaman atas kebebasan serta hak sipil di Indonesia? Serta bagaimana reaksi para sastrawan terhadap timpangnya keadilan bagi para kaum minoritas.

Sempat teringat esai tulisan Pramoedya Ananta Toer, juga dimuat The New York Times, berjudul “The Book That Killed Colonialism”[1] (Buku Yang Membunuh Kolonialisme). Dalam esai itu, Pramoedya Ananta Toer menceritakan bagaimana novel Max Havelaar berdampak begitu besar mengungkap pelanggaran pihak kolonial di Indonesia. Pramoedya juga menyertakan fakta, sang pengarang, Eduard Douwes Dekker menuliskan Max Havelaar dari pengalaman pribadinya selama bertugas di Hindia-Belanda. Ia mengangkat bagaimana Douwes Dekker lantang membela seorang ketua desa yang mengalami penindasan di Sumatera Barat. Saat kasusnya sampai ke pengadilan, Douwes Dekker berani melawan atasannya dan bersaksi membela ketua desa tersebut.

Publikasi Max Havelaar itu ditunjukkan memberi dampak besar terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam esai tersebut, Pramoedya menggarisbawahi peran Agus Salim sebagai tokoh pembaharu yang terpengaruh dengan novel Max Havelaar. Tentunya selain Agus Salim, begitu banyak tokoh-tokoh Indonesia yang membaca Max Havelaar dan tergerak berjuang untuk Indonesia. Dalam konteks itu, sastra memiliki pengaruh melampaui persoalan yang estetis semata. Rangkaian kata tulisan Douwes Dekker berpengaruh melintasi lapisan generasi, bahkan hingga saat ini. Itu merupakan bukti, sastra memiliki kekuasaan mengubah individu, juga menggerakkan masyarakat. Sastra adalah instrumen perjuangan.

Dalam ketiga pengelompokan tema yang diteliti, saya menyadari karya sastra memberi kontribusi besar untuk pembelajaran masyarakat, khususnya terkait gagasan yang masih awam dipahami. Novel karya Okky Madasari berjudul Pasung Jiwa[2] misalnya, mengkritisi prasangka yang dimiliki masyarakat tentang kaum transgender. Menggunakan sudut pandang tokoh protagonis Sasana, pembaca dapat mengikuti alur berpikir Sasana yang bergelut dengan persoalan identitasnya. Pembaca juga dapat berempati bagaimana peliknya Sasana mempertahankan ekspresi gendernya di tengah tekanan dan kekerasan yang ia alami.

Tidak hanya itu, membaca cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul Menyusu Ayah[3], menyibak gelapnya kejahatan kekerasan seksual. Persoalan kekerasan seksual yang masih tabu dibahas dalam masyarakat, seringkali menyebabkan kesalahpahaman dan penghakiman terhadap korban. Cerpen Menyusu Ayah menggambarkan bagaimana pemerkosaan terjadi terhadap anak-anak, dan kerap pelakunya adalah orang terdekat korban. Melalui penuturan tokoh Nay, pembaca dapat mencermati kekerasan terselubung yang bekerja melalui relasi kuasa. Cerpen Menyusu Ayah adalah karya prosa penting dalam diskursus berkenaan dengan kekerasan seksual. Cerpen tersebut membantu mengilustrasi kerumitan melawan kekerasan seksual terhadap perempuan. Baik Djenar Maesa Ayu maupun Okky Madasari menggunakan narasi tubuh guna menyampaikan gagasannya. Melalui sastra, pembaca berbagi cakrawala dengan pengarang, juga tokoh yang dituliskannya. Berbagi pandangan itu memungkinkan pembaca untuk memiliki rasa empati, memahami persoalan tubuh tidak saja dimengerti secara objektif, tetapi tubuh yang mengalami pelanggaran, kekerasan dan penderitaan.

Beranjak dari pembahasan narasi tubuh, saya mengembangkan penelitian ke arah sastra yang menarasikan hubungan manusia dengan alam. Khususnya, bagaimana bermunculan karya sastra mempersoalkan terputusnya hubungan manusia dengan alam disebabkan laju pembangunan yang kian pesat. Saya meneliti puisi karya para sastrawan dari berbagai daerah di Indonesia, antara lain Sumatera, Jawa, Aceh hingga Bali. Beberapa penyair yang karya sastranya saya soroti adalah Made Adnyana Ole, Guntur Alam, Gus TF. Sakai, Faisal Oddang, Oka Rusmini, Adek Alwi dan lainnya. Karya Made Adnyana Ole misalnya, dalam antologi puisi Dongeng Dari Utara, sebagian besar berkisah bagaimana kehidupan tradisional bersinggungan dengan modernisasi. Di Bali sendiri dapat disaksikan masyarakat adat yang awalnya hidup harmonis dengan alam, kini memudar nilai-nilai adatnya. Penyebab dari memudarnya kehidupan yang seimbang itu, eksploitasi alam dikarenakan pembangunan infrastruktur pariwisata. Begitu juga puisi-puisi Oka Rusmini dalam antologinya, Saiban. Ia mengkritik bagaimana alam Bali tidak lagi mencerminkan surga para dewata. Alamnya telah dirusak oleh beton-beton pembangunan.

Perlu diketahui, keresahan itu sulit ditangkap melalui diskursus yang biasa diperbincangkan dalam karya ilmiah, atau diperdebatkan para birokrat. Ada kesulitan menyadari sekaligus memahami terputusnya relasi manusia dan alam melalui ruang tersebut. Pasalnya, pembangunan dimengerti acap kali terbatas pada pemberdayaan sumber daya alam, tanpa mengerti alam tidak sekadar objek yang dikeruk. Melainkan, ia memiliki sesuatu yang lain. Alam adalah elemen lebih subtil, menentukan bagaimana manusia dapat bertempat, dan menemukan dirinya.

Namun, hal itu luput ditemukan dalam perbincangan ekonomi, terlebih politik. Kalkulasi rasional-objektif lebih dikedepankan daripada mengamati relasi yang nyatanya terputus dengan alam. Dalam keterputusasaan itu, sastra hadir memberi ruang sekaligus jawaban bagaimana manusia dapat memulihkan kembali relasinya dengan alam. Diantaranya menyuarakan ada yang salah dengan paradigma pembangunan, cara berekonomi, dan tentunya tindakan memperlakukan alam.

Tema telaah terakhir membahas sastra menyoroti kaum minoritas yang seringkali hak sipilnya (civil rights) terabaikan negara. Dua karya yang representatif terhadap tema itu, antara lain, Novel Entrok dan Maryam karya Okky Madasari. Mengamati kisah dalam Entrok, latar yang digunakan periode transisi Orde Lama ke Orde Baru. Narasi dalam novel itu diakhiri dengan peralihan Orba ke Reformasi. Okky dengan terang menunjukkan bagaimana perseteruan atau konflik di tatanan elit politik menyisakan korban, yaitu mereka yang dicap tidak sejalan dengan pihak berkuasa. Dalam kisah itu diceritakan Rahayu, perempuan yang di Kartu Tanda Pengenalnya diberi label mantan Tahanan Politik (Eks. Tapol). Berbagai kesulitan dihadapi Rahayu, utamanya dalam akses terhadap hak sipilnya sebagai warga negara Indonesia. Ia sulit mendapat pekerjaan, terlebih menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Narasi menarik yang disampaikan Okky guna menyuarakan bobroknya akses terhadap hak sipil bagi kaum yang dipinggirkan, yaitu momen Rahayu hendak menikah. Dalam paparannya, Okky menunjukkan bagaimana untuk menikah, perempuan itu mengalami kesulitan. Di tengah prosesi resepsi, mertuanya merasa tertipu lantaran tidak diberi tahu di KTP Rahayu tertera tanda eks. Tapol. Kisah itu berlanjut pada pembatalan pernikahan, dan Rahayu tetap tidak bersuami hingga di akhir cerita.

Begitu juga dengan kisah dalam Novel Maryam karangan Okky. Meski negeri ini telah menganggap dirinya menjunjung tinggi nilai demokrasi lewat Reformasi’98, nyatanya hak sipil pihak minoritas masih juga terabaikan. Misalnya saja, Komunitas Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kondisi riilnya menunjukkan bagaimana sejumlah komunitas muslim menentang ajaran Ahmadiyah lantaran dianggap menistakan agama. Banyak pihak marah, geram, memaksa Ahmadiyah memisahkan diri dari islam dan menjadi agama baru. Diskursus yang dikedepankan lebih banyak berdebat tanpa menemukan solusi, dan cenderung mengabaikan hidup yang dialami para korban, yaitu komunitas Ahmadiyah itu terabaikan hak sipilnya.

Menerangkan hal itu, sastra kembali jadi instrumen penting. Penulisnya menyampaikan kehidupan banyak orang terusir di tanah kelahirannya sendiri. Okky memperlihatkan kekejaman yang terjadi saat perbedaan dianggap mesti diatasi dengan penyingkiran. Tidak hanya rumah yang ditinggalkan, bahkan kaum itu juga mesti merelakan lahan penghidupannya, kepemilikan hasil kerja keras selama puluhan tahun, dan tentu kebebasan, yang mestinya otomatis dijamin negara. Namun, diskusi intelektual yang ada dalam karangan ilmiah seringkali luput melihat ada korban, yang diabaikan. Dalam konteks itu, Okky tampak membuka mata para petinggi negeri yang diberi amanat melaksanakan ketentuan undang-undang guna merangkul kembali mereka yang dipinggirkan, dan membuka akses, utamanya terhadap hak mendasar, hak sipil yang sewajarnya didapat saat menjadi warga negara.

Beranjak dari ulasan itu tampak sastra punya daya transformasi sosial. Karya sastra juga punya kemampuan menyuarakan mereka yang dibungkam, dan tidak dapat diakomodir ruang diskursus lainnya. Banyak pihak nyatanya telah menyadari hal itu. Wiji Thukul lewat puisinya, hanya satu kata, lawan! Juga, Seno Gumira Ajidarma lewat karyanya, “Saat Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara!” ia memperlihatkan kemampuan sastra memberi pencerahan, membuka wacana mengenai suara-suara yang terpinggirkan, serta daya untuk menggerakan masyarakat. Dengan demikian, meski banyak yang menganggap sastra sebagai penampil narasi indah, tetapi nyatanya sastra menangkap kegundahan rakyat, melawan ketidakadilan. Tentunya tidak dalam diam, tetapi bersuara lewat rangkai kata dan cerita.

*Penulis merupakan Dosen Filsafat Universitas Indonesia dan Visiting Fellow di KITLV.

Sejumlah bagian dalam tulisan ini merupakan sari dari hasil penelitian yang dipresentasikan di KITLV, Leiden, medio Juli 2015.

[1] Esai itu dapat diakses di http://www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-book-that-killed-colonialism.html, Pramoedya Ananta Toer, Best Story; The Book That Killed Colonialism, Translasi Inggris oleh John H. McGlynn, dilansir pada 18 April 1999, diakses 2 September 2015.

[2] Okky Madasari, Pasung Jiwa, 2013, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

[3] Menyusu Ayah (Suckling Father) merupakan Cerita Pendek karangan Djenar Maesa Ayu yang mendapat penghargaan Cerpen Terbaik dari Jurnal Perempuan pada 2003.


 
 
 

Comentarios


Sekilas Isi Artikel 
Artikel Tersedia
Link Bermanfaat
Kirim Artikel?

Silakan kirim ke:
redaksi@toelip.net

©2015 by toelip.net

bottom of page