Husein Jayadiningrat dalam Lanskap Sejarah Indonesia-Belanda
- Wijayanto*
- Jul 2, 2015
- 5 min read
“In every long term relationship, there is always beautiful time and also dreadful time.”

Demikian saya pernah membaca kalimat di atas dalam sebuah buku komunikasi interpersonal. Kapan dan tepatnya saya membaca kalimat itu sudah tidak saya ingat benar. Namun kebenaran dari kalimat itu masih menggema hingga kini.
Ya, seperti dalam kutipan di atas, dalam setiap hubungan jangka panjang selalu ada masa-masa indah namun juga masa-masa menyeramkan. Tak terkecuali jika kita berbicara tentang hubungan Indonesia dan Belanda. Pembacaan kritis atas relasi kedua negara tak sepenuhnya menghasilkan narasi yang dipenuhi mimpi buruk, sebagaimana diajarkan dalam diktat-diktat pelajaran di bangku sekolah dulu. Bahwa Belanda menjajah dan mengeksploitasi Indonesia selama 350 tahun, adalah salah satu contoh sederhana. Pertama, bagaimana mungkin “Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun”, jika Indonesia sendiri baru merdeka tahun 1945, dan berusia kurang dari 70 tahun?
Kedua, seperti halnya semua sarjana ilmu politik pahami, Belanda pun tidak seragam. Saat kita menyebut negara Indonesia, misalnya, maka kita akan bertanya: negara Indonesia yang mana? Yang ada di bawah pemerintahan Suharto, SBY atau Jokowi?
Tidak semua yang dilakukan Suharto kita setujui. Kebijakan represif Suharto dengan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer yang menjatuhkan banyak korban jiwa, banyak di antara kita yang mengecamnya. Maka jika kita bicara Belanda menjajah Indonesia, maka sesungguhnya kita bicara tentang rezim politik tertentu di Belanda, pada periode sejarah tertentu, namun bukan berarti seluruh masyarakat Belanda mengetahui dan menyetujui penjajahan itu. Faktanya, hanya segelintir masyarakat Belanda yang datang ke kepulauan nusantara pada masa itu, melalui perusahaan dagang mereka: United East India Company yang terkenal dengan sebutan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang deberi kuasa monopoli untuk melakukan peradgangan di Asia oleh Gubernur Jenral Belanda. Sederhananya, negara tidak identik dengan bangsa.
Menjadi pertanyaan kemudian: bagaimana mungkin sedikit kapal yang yang datang ke nusantara (Indonesia belum ada waktu itu) mulai sekitar tahun 1600 itu bisa menaklukkan nusantara yang demikian luas, terdiri dari belasan ribu pulau dan puluhan kerajaan, dalam tempo yang begitu lama, hingga sekitar tahun 1945? Mudah diduga bahwa sudah pasti penguasaan itu tak kan bertahan demikian lama tanpa penerimaan dari yang “terjajah itu sendiri”. Dalam hal ini, tulisan David Henley (2004) punya jawaban yang sangat baik untuk pertanyaan di atas. Dalam tulisannya: “Conflict, Justice, and the Stranger-King Indigenous Roots of Colonial Rule in Indonesia and Elsewhere.” Dengan jernih diungkapkan bahwa akar kehadiran penjajah colonial adalah ketidakmampuan elit kita sendiri untuk menyelesaikan perebutan kekuasaan di antar mereka sendiri, sehingga saat ada kekuasaan asing datang mereka jadikan itu sebagai peluang untuk memperoleh dukungan bagi kepentingan mereka sendiri.
fears of political oppression and economic exploitation by foreigners were tempered not only by the opportunism of local elites (and would-be elites) in search of external support, but also by a more widespread appreciation for the usefulness of foreign authority as a way of controlling indigenous conflict and violence through various combinations of third-party mediation, impartial adjudication, and legal enforcement…. (David Henley, Modern Asian Studies 38, 1 (2004), pp. 87, Cambridge University Press)
Dari satu contoh kecil di atas menjadi jelas bahwa hubungan kedua bangsa ini tidaklah sesederhana bayangan kita, setidaknya seperti yang selama ini terurai dalam buku-buku pelajaran sekolah. Saya sendiri bukanlah sejarawan, namun saya percaya pembacaan ulang atas sejarah hubungan kedua bangsa akan membawa kita pada penemuan atas tidak hanya sisi kelam, namun juga sisi indah di mana kita bisa mengambil banyak pelajaran.
Salah satu sisi indah itu barangkali bisa kita baca dalam kisah seorang Hussein Jayadiningrat, anak Indonesia pertama yang meraih gelar doktor di universitas, atau dalam sistem pendidikan modern, lebih dari seratus tahun yang lalu. Artinya, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Gelar itu ia dapatkan dari universitas tertua di Belanda, yang terkenal akan keunggulan studi humaniora nya: Universitas Leiden. Di Fakultas Humaniora, Universitas Leiden, Husein mempertahankan disertasinya pada Oktober 1913 dengan judul: “Analisis Kritis atas Sejarah Banten: Sebuah Kontribusi Atas Historiografi Jawa.” Dari kisah Hussein, kita tidak hanya bisa melacak jejak kecendekiaan manusia Indonesia, namun juga banyak pelajaran lainnya.

Pertama, Husein tidak hanya merupakan doktor pertama di Indonesia, namun juga intelektual yang disegani di Belanda. Pada tahun 1908, sebelum merampungkan disertasinya, Husein memenangi kompetisi penulisan ilmiah di Universitas Leiden, dengan judul: Analisis Kritis Atas Sumber Berbahasa Melayu Tentang Sejarah Kesultanan Aceh. Tulisan sepanjang 130 halaman ini mendapat pujian karena analisanya yang kritis, alur pikirnya yang logis dan metodenya yang jernih. Artikel ini kemudian diterbitkan di jurnal prestisius internasional: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde (Kontribusi untuk Linguistik, Antropologi dan Etnologi, red) Volume 65 dan terbit pada 1911 dan menjadikan nama Husein sejajar dengan para sarjana Belanda lainnya. Hingga kini, jurnal yang dikelola oleh lembaga riset KITLV yang berlokasi di Kota Leiden ini masih merupakan salah satu jurnal internasional kelas satu di dunia.
Dua karya Husein di atas hanyalah awal dari karya-karya Husein lain tentang sejarah Indonesia yang membuat dia tidak hanya dinobatkan sebagai Bapak Metodologi Ilmu Sejarah di Indonesia, namun juga Indolog atau ahli Indonesia pertama dari kalangan pribumi. Peristiwa ini menjadi penting karena sejak itu ada perspektif keilmuan tentang Indonesia yang lahir dari anak Indonesia sendiri. Peristiwa ini juga menjadi signifkan karena bahkan hingga hari ini pun jika saya mencari di jurnal-jurnal internasional atau buku-buku bahasa Inggris di berbagai perpustakaan dunia, studi tentang Indonesia masih didominasi oleh nama-nama asing, dan sangat sulit untuk menemukan nama Indonesia. Apa jadinya jika pengertian dunia tentang Indonesia hanya ditentukan oleh orang-orang asing saja? Di tengah komunitas epistemik dunia yang begitu didominasi oleh ilmuwan Barat inilah, Husein telah menjadi pemula dalam perjuangan menghadirkan perspektif indigenous dalam diskursus dunia tentang Indonesia.
Kedua, terkait dengan dinamika intelektual dan pergerakan mahasiswa Indonesia di masa Husein. Membaca tulisan Harry A. Poeze (1989) dengan judul “Orang Indonesia di Universitas Leiden” membuat saya mengerti bagaimana gerakan intelektual pelajar Indonesia yang ada di Belanda pada masa itu telah memainkan peran penting bagi lahirnya ide dan gerakan Indonesia merdeka. Husein dan kawan-kawannya di Leiden dan seluruh Belanda seperti Soemitro dan Noto Suroto mendirikan asosiasi mahasiswa Hindia dengan nama Indische Vereeniging pada 1908, yang merupakan embrio bagi lahirnya gerakan asosiasi pelajar Indonesia yang lebih radikal setelah berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau yang juga dikenal sebagai Perhimpoenan Indonesia pada 1922. Sejak periode itu, para pelajar Indonesia di Belanda, seperti Iwa Koesuma Soemantri dan Mohammad Hatta, sudah mulai terang-terangan menutut kemerdekaan yang antara lain mereka suarakan melalui majalah yang mereka terbitkan sendiri: Indonesia Merdeka.
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa sejarah hubungan Indonesia- Belanda tak hanya diliputi masa-masa buruk namun juga masa-masa indah. Salah satu sisi indah itu kita temukan dalam jejak kesarjanaan seorang putra Indonesia yang sudah mampu berbicara dalam kancah keilmuan internasional dalam diri seorang Husein, lebih dari satu abad yang lalu. Kemudian dari kisah perjuangan Husein dan kawan-kawannya, kita temukan jejak-jejak gagasan Indonesia merdeka, yang kemudian menjadi sangkan paraning dumadi Indonesia hari ini.
* Penulis adalah mahasiswa program Doktoral di Fakultas Humaniora, Universitas Leiden
Sumber Gambar:
1. http://1.bp.blogspot.com/-PwQfa4SADnU/T7r88EWIwkI/AAAAAAAAABw/62DedljOMlM/s1600/husein-djajadiningrat-2.jpeg
2. http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/a/a1/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Professoren_der_Rechts_Hogeschool_in_Batavia_TMnr_60012567.jpg
Comments