top of page

Gastronasionalisme: Membandingkan Mussolini dan Soeharto di Meja Makan

  • Tika Ramadhini*
  • May 8, 2016
  • 5 min read

Tulisan ini diawali dengan iseng-iseng melamun di siang bolong: seperti apa ya kalau Mussolini, yang selalu digambarkan gagah berseragam itu, jadi warga desa di suatu kampung di Jawa Tengah? Apa dia akan sarungan dan pakai peci? Atau jadi petani subsisten yang kemana-mana bawa cangkul? Kalau bicara tentang mantan presiden kita, Soeharto, kita bisa membayangkan. Karena seperti yang kita ketahui, dia memang asli anak petani yang lahir di Kemusuk, suatu daerah pedesaan di Jawa Tengah. Tapi Mussolini?

Setelah dieksplorasi lebih jauh, sepertinya Mussolini dan Soeharto memang punya kemiripan lebih. Bukan dalam hal sarung atau peci, tapi mungkin dalam hal cangkul. Keduanya ternyata punya kemiripan dalam hal ‘mengatur’ makanan.

Di Indonesia kita mungkin pernah mendengar kata ‘Bimas’, ‘Intensifikasi Pertanian’, ‘Swasembada Beras’, dan masih banyak lagi istilah-istilah yang dibawa oleh semangat Revolusi Hijau yang bertujuan untuk meningkatkan pasokan pangan. Pangan, atau lebih spesifik beras, memang dianggap penting, terlebih pada masa Orde Baru. Halaman pertama otobiografi Soeharto saja menceritakan tentang keberhasilan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984. Beras, yang menurut Soeharto adalah makanan yang paling banyak dikonsumsi orang Indonesia, harus selalu tercukupi stoknya. Tidak tanggung-tanggung, swasembada beras menjadi tujuan pembangunan sejak Pembangunan Lima Tahun I (Pelita I) diterapkan.

Di Italia, Mussolini juga mencanangkan kebijakan yang mirip-mirip. Kalau Soeharto mengendorse beras dan pentingnya swasembada beras, Mussolini menggalakkan pertanian pangan demi kedaulatan gandum Italia. ‘Battle of Grain’ nama proyeknya, sebuah proyek yang bertujuan ‘merevolusi’ konsumsi pangan rezim fasis di Italia dengan menekankan self-sufficiency. Terpisah rentang waktu kurang lebih 30 tahun, kebijakan keduanya bisa dibilang serupa. Hal ini membuat saya bertanya-tanya: mengapa makanan tampak memainkan peran penting dalam kancah politik? Bagaimana Soeharto dan Mussolini menggunakan makanan sebagai alat politik?

You are What You Eat: Makanan dan Nasionalisme

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin banyak jawaban yang bisa, dan telah, dimunculkan. Namun mengaitkan makanan dan nasionalisme mungkin bisa jadi salah satu alternatif jawaban yang menarik. Michaela DeSoucey menelurkan konsep gastronationalism, yang sebenarnya menjelaskan fenomena makanan di era globalisasi, namun bisa kita kaitkan untuk menelaah cerita Soeharto dan Mussolini. Ia menegaskan bahwa produksi dan konsumsi makanan dapat digunakan untuk mempengaruhi ikatan dan sentimen nasionalisme, dan sebaliknya, sentimen nasionalisme dapat pula mempengaruhi produksi dan konsumsi makanan.

Hubungan antara makanan dan nasionalisme mungkin dianggap lebih abstrak dibanding simbol-simbol yang lebih kentara seperti bendera atau lagu nasional. Namun, makanan bukan pengecualian dari dunia simbol. Makanan dan makan adalah bagian dari ekspresi kultural dan juga menjadi pembentuk identitas. Berbagi kesamaan dalam hal makanan, termasuk juga proses produksi dan konsumsinya, dapat membangun dan memelihara identitas nasional yang diikat oleh aktor-aktor sosial, juga nilai kekhasan yang unik (misalnya makanan khas Indonesia, khas Meksiko, dan lain-lain).

Dalam kisah Mussolini dan Soeharto, gastronasionalisme ini dilihat sebagai upaya topdown dari penguasa dalam mengidentifikasi dan membentuk ‘kebudayaan makan nasional’.

Mussolini dan Soeharto bercocok tanam. Sumber: De Telegraaf, 24-12-1934. Dwipayana dan Ramadhan, 1989

Mirip-mirip dengan jargon Donald Trump masa kini, dalam pidato-pidato politiknya di tahun 20-30an Mussolini juga berjanji untuk ‘make Italy great again’. Italia dianggap sebagai underdog yang tidak signifikan dibanding negara-negara besar Eropa lainnya, seperti Jerman dan Prancis. Secara ekonomi, hanya bagian utara Italia yang punya sektor industri, sedangkan bagian tengah hingga selatan Italia hanya bergantung pada sektor agraria. Ini pula yang melatarbelakangi Mussolini untuk merevolusi kebijakan pangan. Terlebih setelah Perang Dunia Pertama berakhir, subsidi gandum untuk rakyat Italia diberhentikan. Terus-menerus mensubsidi pangan dengan mendatangkan gandum impor akan membuat utang membengkak.

Pandangan fasis Mussolini beranggapan bahwa untuk mengembalikan kejayaan masa lampau Italia, seluruh elemen masyarakat harus dimobilisasi. Dalam semangat mobilisasi total ini, kita dapat memahami politik pangan Mussolini. Battle of Grain, yang dimulai sejak tahun 1925, menekankan pada aspek self-sufficiency. Meningkatkan hasil produksi domestic bukan hanya menurunkan beban hidup orang Italia, tapi juga membuat Itali lebih independen dari Negara lain. Menurut Mussolini, ketergantungan pada Negara lain untuk stok makanan adalah bentuk baru dari perbudakan.

Kebijakan self-sufficiency ini tidak hanya bertujuan independen secara ekonomi, tapi juga untuk melahirkan sentimen nasionalis. Mussolini ingin makanan menjadi pemersatu masyarakat Italia. Seluruh aspek masyarakat, tidak terbatas oleh kelas maupun region, harus turut mendukung program ini, karena Battle of Grain bukan hanya mengubah sistem produksi, tapi juga konsumsi. Pola konsumsi yang sudah ada diperkuat dengan mengaitkan aktivitas makan dengan political allegiance dan identitas nasional. Orang Italia harus makan roti dan pasta Italia, karena ini adalah ‘makanan Italia yang sesungguhnya’. Lebih baik bersusah payah demi makan roti dan pasta Italia dibanding makan makanan lain, apalagi impor. Mengonsumsi roti dan pasta menjadi bernilai patriotis bukan hanya karena turut mendukung ekonomi nasional, tapi juga menyatukan individu dengan individu lainnya dibawah kesatuan ‘orang Italia’. Eating Italian food makes you a proud Italian.

Di masa program Battle of Grain ada banyak propaganda ‘makan seperti orang Itali’,

dalam bentuk poster dan festival. Festival-festival seperti ‘Hari Gandum’, ‘Kontes Tepung

Terbaik’, dan pameran tentang pembuatan tepung gandum banyak dilakukan.

Sumber: De Telegraaf, 06-07-1938, De Sumatra Post, 17-12-1926.

Dibandingkan dengan Mussolini, Soeharto mungkin tidak menghadapi tantangan pasca perang dunia, namun keadaan ekonomi bisa dibilang hampir sama buruk. Oleh karena itu, Orde Baru memiliki perhatian yang besar pada perbaikan ekonomi. Pertanian serta produksi pangan masuk dalam prioritas utama pembangunan ekonomi; simpel saja, karena semua orang kelaparan. Ia beranggapan bahwa beras adalah makanan pokok lebih dari 85% orang Indonesia, oleh karena itu kebijakan perbaikan ekonomi harus dimulai dengan memperhatikan beras.

Berbeda dengan Mussolini, Soeharto tidak berangkat dari ide ‘mobilisasi total’ atau ideologi tertentu untuk mencapai swasembada beras, namun jelas beras memiliki nilai penting dalam kebijakan stabilitas Orde Baru. Soeharto bahkan menyebut bahwa beras adalah pertahanannya yang terakhir. In rice we trust!

Beras di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya memang merupakan komoditi yang penting sejak dulu dan telah memiliki sejarah yang panjang. Akan tetapi, di bawah kepemimpinan Soeharto beras menjelma menjadi komoditi yang lebih strategis dan politis dengan dibuatnya kebijakan-kebijakan baru yang terimplementasi dalam instrumen seperti BIMAS dan PELITA. Kebijakan pangan di Indonesia menjadi selalu terkonsentrasi pada beras. Demi mencukupi kebutuhan beras, beras harus diproduksi lebih, bukan dibeli dari luar, karena ini terkait dengan kedaulatan pangan bangsa. Orang Indonesia harus makan beras Indonesia, bukan beras Thailand atau beras Cina, supaya tidak tergantung dengan negara lain. Acara-acara televisi untuk mendukung petani juga bermunculan seperti acara dari Desa ke Desa dan Ragam Desa. Semangat mencukupi kebutuhan beras nasional juga diiringi dengan program promosi cinta produk dalam negeri pada periode tahun 70-an.

Tayangan dari Desa ke Desa. Bagian dari BIMAS: Kelompok Pendengar Pembaca dan

Pemirsa (Klompencapir)

Mirip dengan Mussolini yang menginginkan orang Italia makan gandum produksi lokal, memiliki stok beras yang cukup menjadi perkara nasionalisme. Daerah-daerah yang notabene sejarahnya bukan penanam dan pengkonsumsi beras pun ikut dalam skema kebijakan beras. Salah satu contohnya adalah program peningkatan produksi beras Operasi Nusa Makmur di Nusa Tenggara Timur. Beras juga disalurkan ke seluruh Indonesia melalui Depot Logistik (DOLOG) di berbagai daerah. Tingkat konsumsi beras terus meningkat, dan jumlah beras yang dimakan pertahun menjadi indikator tingkat kemiskinan. Entah bagaimana prosesnya, makan nasi menjadi intisari dari kehidupan sehari-hari orang Indonesia. Hingga kini, kita semua mengenal istilah ‘belum makan nasi ya berarti belum makan’.

Epilog

Mungkin kalau saya melamun lebih lama dan menyempatkan diri memverifikasi lamunan ke perpustakaan dan laman jurnal, akan ada lebih banyak tokoh lain yang bisa dibandingkan. Ya, perbandingan Soeharto dan Mussolini ini memang bukan perbandingan yang eksklusif dan luar biasa unik, karena makanan punya sifat layaknya cinta: universal. Makanan adalah kebutuhan pokok seluruh umat manusia, yang menariknya dikonsumsi dengan cara yang berbeda-beda, walaupun kadang ada pula yang mirip-mirip (apakah yakitori itu semacam sate atau sate itu semacam yakitori?).

Ketika konsep negara dan nasion disematkan pada makanan, cerita tentang kebutuhan pokok ini jadi tambah menarik. Kisah mengenai kebijakan perberasan Soeharto dan Battle of grain-nya Mussolini, merupakan bentuk campur tangan penguasa dalam membentuk ‘budaya pangan’, dimana suatu komoditi, seperti beras atau pasta (yang sebenarnya diadopsi dari Cina!) bisa memiliki identitas nasional.

Jadi, my Indonesian folks, sudahkah Anda makan (nasi) hari ini?

*Mahasiswi Program Master in Humanities (Sejarah) Universiteit Leiden


 
 
 

Comments


Sekilas Isi Artikel 
Artikel Tersedia
Link Bermanfaat
Kirim Artikel?

Silakan kirim ke:
redaksi@toelip.net

©2015 by toelip.net

bottom of page